PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM MODERNISASI PENDIDIKAN BANGSA


PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM MODERNISASI

PENDIDIKAN BANGSA

Fathul Wahid

1. PENDAHULUAN

Perubahan lingkungan luar dunia pendidikan, mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik mengharuskan dunia pendidikan memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi sosial dan bagaimana harus berinteraksi dengan perubahan tersebut. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan adalah hadirnya teknologi informasi (TI).

TI telah menghadirkan media baru dalam penyebaran informasi, yaitu media digital. Informasi yang tidak lagi disusun atas atom-atom – tetapi dalam bit-bit (Negroponte, 1998)

– telah mempercepat dan mempermudah proses penyebarannya. Media ini pun telah mengubah pola pikir manusia yang merupakan respon terhadap kemasan informasi. Contoh perubahan pola pikir tersebut adalah lahirnya e-mail yang mengubah cara berkirim surat, e-business atau e-commerce yang telah mengubah cara berbisnis dengan segala turunannya, termasuk e-cash atau e-money. E-government telah membuka babak baru pengelolaan pemerintahan dan mekanisme hubungan antara pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat. E-learning menawarkan cakrawala baru proses belajar-mengajar. Perubahan-perubahan tersebut terus berlangsung dan dalam beberapa bidang sudah mulai mapan, terutama di negara-negara maju.

Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 90% SMU dan 95%

SMK telah memiliki komputer. Namun demikian, kurang dari 25% SMU dan 10% SMK

yang telah terhubungan dengan Internet (Mohandas, 2003). Di tingkat perguruan tinggi,

data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi – dalam Pannen (2005) – menunjukkan bahwa

kesadaran dalam pemanfaatan TI dalam proses pembelajaran masih sangat rendah.

Analisis terhadap proposal teaching grant, baru 29,69% yang memanfatkan media

berbasis teknologi komputer. Ketersedian media berbasis teknologi informasi juga masih

terbatas. Hanya 15,54% perguruan tinggi negeri (PTN) dan 16,09% perguruan tinggi

swasta (PTS) yang memiliki ketersediaan media berbasis teknologi informasi. Sekitar

16,65% mahasiswa dan 14,59% dosen yang mempunyai akses terhadap teknologi

informasi. Hasil survei yang melihat pemanfaatan TI pada tahun 2004 menunjukkan bahwa

baru 17,01% PTN, 15,44% PTS, 9,65% dosen, dan 16,17% mahasiswayang

memanfaatkan TI dengan baik. Secara keseluruhan statistik ini menunjukkan bahwa

adopsi TI dalam dunia pendidikan di Indonesia masih rendah.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan

(a) bagaimana seharusnya kita memandang TI, termasuk potensi apa yang ditawarkan

oleh TI; dan (b) bagaimana peran TI dalam modernisasi/reformasi pendidikan.

2. PARADIGMA PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI

Yang perlu diperhatikan sejak awal adalah bahwa penggunaan TI tidak sama dengan

otomatisasi. TI tidak hanya memecahkan masalah dengan menggantikan pekerjaan yang

selama ini dilakukan dengan manual menjadi berbantuan teknologi. Jika paradigma

1

Disampaikan dalam Simposium Nasional Peduli Pendidikan yang diadakan oleh pendidikan@yahoogroups.

com, di Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada 9 Juli 2005.

2

Staf pengajar dan peneliti di Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam

Indonesia, e-mail: fathulwahid@fti.uii.ac.id, web: www.geocities.com/fathulwahid

1

berpikir itu yang digunakan, maka pemanfaatan TI, menurut Hammer dan Champy (1993),

tidak akan membawa perubahan radikal. Cara berpikir deduktif (deductive thinking) seperti

ini tidak banyak memunculkan perubahan yang radikal terkait dengan pemanfaatan TI

dibandingkan jika berpikir secara induktif (inductive thinking).

Orang yang berpikir secara deduktif, pertama kali mencari masalah yang akan dipecahkan

dan kemudian mengevaluasi sejumlah alternatif solusi yang akan digunakan. Jika TI ingin

dioptimalkan pemanfaatannya dalam organisasi maka manajer/pemimpin harus berpikir

induktif. Potensi TI harus dikenali dengan baik terlebih dahulu, kemudian mencari masalah

yang mungkin dipecahkan. Masalah ini mungkin bahkan tidak dikenali sebelumnya atau

tidak dianggap sebagai masalah.

Pertanyaan yang harus dimunculkan bukannya, “Bagaimana kita dapat menggunakan

kemampuan TI untuk meningkatkan apa yang telah kita kerjakan?”, tetapi “Bagaimana kita

dapat menggunakan TI untuk mengerjakan apa yang belum kita kerjakan?.” Pertanyaan

yang pertama lebih terkait dengan otomatisasi, yang juga dapat meningkatkan efisiensi,

namun tidak sebaik yang dihasilkan oleh rekayasa-ulang (reengineering) berbantuan TI.

Rekayasa ulang ini banyak dilakukan oleh dunia industri.

Dengan sudut pandang yang lain, Davenport dan Short (1990) mendefinisikan 10 peran

yang dapat dimainkan oleh TI, yaitu transactional, geographical, automatical, analytical,

informational, sequential, knowledge management, tracking, dan disintermediation. Semua

peran TI ini dapat dikontekstualisasikan dengan kebutuhan dunia pendidikan. Dalam

bahasa yang lain, Al-Mashari dan Zairi (2000) menyatakan bahwa manfaat TI adalah pada

kemampuannya yang (1) enabling parallelism; (2) facilitating integration; (3) enhancing

decision making; dan (4) minimizing points of contact.

Pemahaman terhadap peran yang dapat dimainkan oleh TI atau potensi yang ditawarkan

oleh TI merupakan modal awal dalam berpikir induktif. Dengan demikian, akhirnya, TI

dapat diekspoitasi untuk mendapatkan manfaat yang maksimal.

3. PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM MODERNISASI PENDIDIKAN

Perubahan tidak selalu menjadikan sesuatu lebih baik,

tetapi untuk menjadi lebih baik, sesuatu harus berubah (?)

Menurut Resnick (2002) ada tiga hal penting yang harus dipikirkan ulang terkait dengan

modernisasi pendidikan: (1) bagaimana kita belajar (how people learn); (2) apa yang kita

pelajari (what people learn); dan (3) kapan dan dimana kita belajar (where and when

people learn). Dengan mencermati jawaban atas ketiga pertanyaan ini, dan potensi TI

yang bisa dimanfaatkan seperti telah diuraikan sebelumnya, maka peran TI dalam

moderninasi pendidikan bangsa dapat dirumuskan. Hubungan antara TI dan reformasi

pendidikan secara grafis diilustrasikan pada Gambar 1.

Pertanyaan pertama, bagaimana kita belajar, terkait dengan metode atau model

3

pembelajaran. Cara berinteraksi antara guru dengan siswa

sangat menentukan model

pembelajaran. Terkait dengan ini, menurut Pannen (2005), saat ini terjadi perubahan

paradigma pembelajaran terkait dengan ketergantungan terhadap guru dan peran guru

dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran seharusnya tidak 100% bergantung

kepada guru lagi (instructor dependent) tetapi lebih banyak terpusat kepada siswa

(student-centered learning atau instructor independent). Guru juga tidak lagi dijadikan satu-

satunya rujukan semua pengetahuan tetapi lebih sebagai fasilitator atau konsultan

(Resnick, 2002).

3

Baca: dosen dan mahasiswa untuk konteks perguruan tinggi.

2

Pikirkan ulang!

Apa yang kita pelajari? Bagaimana kita belajar?

Dimana dan kapan kita belajar?

Teknologi Informasi

Gambar 1. Intervensi TI dalam reformasi pendidikan

Intervensi yang bisa dilakukan TI dalam model pembelajaran ini sangat jelas. Hadirnya e-

learning dengan semua variasi tingkatannya telah memfasilitasi perubahan ini. Secara

umum, e-learning dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang disampaikan melalui

semua media elektronik termasuk, Internet, intranet, extranet, satelit, audio/video tape, TV

interaktif, dan CD ROM (Govindasamy, 2002). Menurut Kirkpatrick (2001), e-learning telah

mendorong demokratisasi pengajaran dan proses pembelajaran dengan memberikan

kendali yang lebih besar dalam pembelajaran kepada siswa. Hal ini sangat sesuai dengan

prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional seperti termaktub dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan

bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,

dan kemajemukan bangsa”.

Secara umum, intervensi e-learning dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan

menjadi dua: komplementer dan substitusi. Yang pertama mengandaikan bahwa cara

pembelajaran dengan pertemuan tatap-muka masih berjalan tetapi ditambah dengan

model interaksi berbantuan TI, sedang yang kedua sebagian besar proses pembelajaran

dilakukan berbantuan TI. Saat ini, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga telah

memfasilitasi pemanfaatan e-learning sebagai substitusi proses pembelajaran

konvensional. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 107/U/2001 dengan jelas

membuka koridor untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh di mana e-learning dapat

masuk memainkan peran.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang kita pelajari. Pertanyaan-pertanyaan seperti

apakah kurikulum telah sesuai dengan kebutuhan siswa dan apakah kurikulum telah

dirancang untuk menyiapkan siswa untuk hidup dan bekerja pada masa yang akan datang

perlu sekali lagi dilontarkan. Perkembangan TI yang sangat pesat harus dipertimbangkan

dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Menurut Resnick (2002), selain TI akan

sangat mewarnai masa depan, TI juga mengubah tidak hanya terhadap apa yang

seharusnya dipelajari oleh siswa, tetapi juga apa yang dapat dipelajari. Sangat mungkin

banyak hal yang seharusnya atau dapat dipelajari siswa tetapi tidak bisa dimasukkan ke

dalam kurikulum karena “ruang” yang terbatas atau kompleksitas yang tinggi dalam

mengajarkannya. Terkait dengan ini, paradigma pembelajaran yang sebelumnya

mengandaikan bahwa sumberdaya pembelajaran hanya terbatas pada materi di kelas dan

buku harus diubah. Hadirnya TI, terutama Internet, telah menyediakan sumberdaya

pembelajaran yang tidak terbatas. Sebagai contoh, survei yang dilakukan oleh penulis

pada siswa SMU di Yogyarta, Bantul, dan Gunungkidul menemukan bahwa lebih dari 10%

siswa menggunakan komputer untuk desain grafis yang tidak diajarkan di sekolah.

Pertanyaan sederhana yang muncul adalah bagaimana mereka belajar? Jawabannya

sangat lugas: akses terhadap komputer dan Internet telah memungkinkan hal itu terjadi.

Contoh lain, yang tertarik dengan teknologi informasi tetapi tidak mempunyai kesempatan

3

untuk duduk di bangku sekolah/kuliah bisa mengunjungi www.ilmukomputer.com yang

menyediakan sumberdaya pembelajaran gratis.

Diskusi seperti ini dapat diperpanjang untuk tidak membatasi pembelajaran hanya pada

institusi formal. Sudah saatnya learning society dikampanyekan sebagai salah satu

manifestasi kesadaran semangat pembelajaran sepanjang hayat (long-life learning).

Bukankah kita tidak jarang merasa tidak tahu apa yang harus dipelajari karena tidak

tersedia sarana/informasi tentang itu? Karenanya, gerakan untuk membuka akses

informasi dan pengetahuan seluas-seluasnya kepada masyarakat menjadi sebuah

keharusan. Teknologi informasi, terutama Internet, dalam hal ini memberikan peluang

untuk itu.

Kapan dan dimana belajar dilakukan adalah pertanyaan ketiga yang perlu dipikirkan

kembali jawabannya. Apakah harus dalam ruangan kelas dalam waktu tertentu atau tidak

terbatas ruang dan waktu? Model pembelajaran tatap-muka yang banyak membatasi

waktu dan tempat belajar. Sebagai komplemen (atau substitusi), teknologi e-learning hadir

untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam memilih tempat, waktu, dan ritme

belajar (Kirkpatrick, 2004). Interaksi yang difasilitasi oleh TI ini dapat terjadi secara sinkron

(pada waktu yang sama) maupun asinkron (dalam waktu yang berbeda).

E-learning dapat difasilitasi secara online maupun offline tetapi berbantuan TI. Produksi

CD-ROM dengan konten materi pembelajaran termasuk di dalamnya. Kini, kita bisa

dapatkan banyak CD-ROM untuk pembelajaran di pasaran; mulai untuk balita. Bahkan

beberapa CD-ROM telah memfasilitasi siswa belajar sesuai dengan kurikulum yang

sedang berjalan dengan kemasan yang menarik. Dalam hal ini, TI dapat menghadirkan

digital excitement dalam proses pembelajaran. Salah satu perusahaan yang memproduksi

CD-ROM semacam ini adalah Akal (www.akalinteraktif.com).

Untuk menfasilitasi e-learning dengan bantuan koneksi Internet, dalam beberapa tahun

terakhir, telah dikembangkan banyak aplikasi yang dirancang untuk mendukung proses

pembelajaran. Aplikasi ini sering disebut dengan Learning Management System (LMS).

LMS ini mengintegrasikan banyak fungsi yang mendukung proses pembelajaran seperti

menfasilitasi berbagai macam bentuk materi instruksional (teks, audio, video), e-mail, chat,

diskusi online, forum, kuis, dan penugasan. Beberapa contoh LMS adalah WebCT

(www.webct.com), Blackboard (www.blackboard. com), Macromedia Breeze

(www.macromedia.com/software/breeze/), dan Fronter (www.fronter.no). LMS sudah

banyak diadopsi oleh banyak lembaga pendidikan di dunia. Sebagi contoh, WebCT telah

digunakan lebih dari 2200 PT di seluruh dunia (Pituch dan Lee, 2004). Blackboard juga

sudah banyak digunakan oleh pendidikan setingkat SMU (www.blackboard.com).

Banyak kritik dialamatkan kepada penggunaan LMS yang dianggap tidak

membertimbangkan aspek pedagogis. Karenanya, menurut Institute for Higher Education

Policy, Amerika (dalam Govindasamy, 2002) terdapat tujuh parameter yang perlu

diperhatikan dalam menerapkan e-learning yang mempertimbangkan prinsip-prinsip

pedagogis, yaitu: (1) institutional support; (2) course development; (3) teaching and

learning; (4) course structure; (5) student support; (6) faculty support; dan (7) evaluation

and assessment. Karenanya, dalam bahasa yang lain, Soekartawi (2003) mengidentifikasi

bahwa keberhasilan implementasi e-learning sangat tergantung kepada penilaian apakah:

(a) e-learning itu sudah menjadikan suatu kebutuhan; (b) tersedianya infrastruktur

pendukung seperti telepon dan listrik (c). tersedianya fasilitas jaringan internet dan koneksi

Internet; (d) software pembelajaran (learning management system); (e) kemampuan dan

ketrampilan orang yang mengoperasikannya; dan (f) kebijakan yang mendukung

pelaksanaan program e-learning.

4

Dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam manajemen dunia pendidikan, berdasar studi

tentang tujuan pemanfaatan TI di dunia pendidikan terkemuka di Amerika, Alavi dan

Gallupe (2003) menemukan beberapa tujuan pemanfaatan TI, yaitu (1) memperbaiki

competitive positioning; (2) meningkatkan brand image; (3) meningkatkan kualitas

pembelajaran dan pengajaran; (4) meningkatkan kepuasan siswa; (5) meningkatkan

pendapatan; (6) memperluas basis siswa; (7) meningkatkan kualitas pelayanan; (8)

mengurangi biaya operasi; dan (9) mengembangkan produk dan layanan baru. Karenanya,

tidak mengherankan jika saat ini banyak perguruan tinggi di Indonesia yang berlomba-

lomba berinvestasi dalam bidang TI untuk memenangkan persaingan yang semakin ketat.

4. MASALAH AKIBAT PENGGUNAAN TI

Seperti teknologi lain yang telah hadir ke muka bumi ini, TI juga hadir dengan dialektika.

Selain membawa banyak potensi manfaat, kehadiran TI juga dapat membawa masalah.

Khususnya Internet, penyebaran informasi yang tidak mungkin terkendalikan telah

membuka akses terhadap informasi yang tidak bermanfaat dan merusak moral.

Karenanya, penyiapan etika siswa juga perlu dilakukan. Etika yang terinternalinasi dalam

4

jiwa siswa adalah firewall

terkuat dalam menghadang serangan informasi yang tidak

berguna.

Masalah lain yang muncul terkait asimetri akses; akses yang tidak merata. Hal ini akan

menjadikan kesenjangan digital (digital divide) semakin lebar antara siswa atau sekolah

dengan dukungan sumberdaya yang kuat dengan siswa atau sekolah dengan sumberdaya

yang terbatas (lihat juga Lie, 2004). Survei yang dilakukan oleh penulis pada Mei 2005 di

tiga kota/kabupaten di Propinsi DI Yogyakarta terhadap 298 siswa dari 6 buah SMU yang

berbeda menunjukkan bahwa akses terhadap komputer dan Internet di daerah kota (i.e.

Kota Yogyakarta) jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah pinggiran (i.e. Kabupaten

Bantul dan Gunungkidul). Jika hanya sekolah swasta yang dianalisis, kesenjangan ini

menjadi sangat tinggi. Akses siswa SMU swasta di Kota Yogyakarta terhadap komputer

dan Internet secara signifikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMU swasta di

Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Minimal, hal ini memberikan sinyal adanya

kesenjangan digital antar kelompok dalam masyarakat, baik dikategorikan menurut lokasi

geografis maupun tingkat ekonomi.

Untuk masalah kesenjangan ini, semua pihak (e.g. pemerintah, lembaga swadaya

masyarakat (LSM), dunia pendidikan, dan industri) dapat mulai memikirkan program untuk

meningkatkan dan memeratakan aksesterhadap teknologi informasi di dunia pendidikan.

Program yang difasilitasi oleh Sekolah2000 (www.sekolah2000.or.id) dengan membagikan

komputer layak pakai ke sekolah-sekolah adalah sebuah contoh menarik. Tentu saja

program seperti ini harus diikuti dengan penyiapan infrastruktur lain seperti listrik dan

telepon. Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan melek (literacy) TI juga pintu masuk lain

yang perlu dipikirkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap potensi TI, yang pada

akhirnya diharapkan meningkatkan kesadaran (awareness). Tanpa awareness,

pemanfaatan TI tidak optimal, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi sulit untuk

5

berkelanjutan (sustainable)

. Dalah kaitan ini, program untuk peningkatan awareness yang

4

Firewall, dalam bidang jaringan komputer, berarti sistem yang dirancang untuk mencegah akses yang tidak

dikehendaki dari atau ke jaringan komputer privat yang biasanya terhubungan dengan Internet.

5

Banyak cerita menarik sekaligus memperihatikan yang penulis dapatkan: 1. Ketika seorang ekonom Bank

Dunia, Shoba Shetty, meninjau sebuah SMU di Salatiga yang mendapatkan bantuan komputer, dia

mendapatkan komputer dalam keadaan tidak terpakai dan disimpan supaya tidak digunakan oleh siswa.

Penyebabnya, ternyata, adalah karena Kepada Sekolah melarang penggunaan komputer bantuan tersebut

karena khawatir akan rusak. 2. Seorang kawan menceritakan anaknya yang mendapatkan tugas membuat

kliping dari sekolah. Ketika anaknya memberikan print-out surat kabar online kepada gurunya, gurunya

menganggap bahwa itu bukanlah kliping surat kabar. Dan, ketiga ada sebuah tugas mengarang, karangan

yang ditulis dengan bantuan komputer dianggap gurunya tidak kreatif. Penulis yakin masih banyak cerita

5

berkelanjutan seperti pendidikan berkelanjutan lewat berbagai media (e.g. pelatihan

konvensional dan media massa) dan lomba website sekolah (seperti yang diadakan oleh

Sekolah2000 setiap tahun) merupakan sebuah alternatif yang perlu dipikirkan.

5. EPILOG

TI bukanlah obat mujarab (panacea) untuk semua masalah. Karenanya, pemanfaatan TI

tidak bisa bebas konteks. Analisis kebutuhan dan pemahaman terhadap potensi yang

ditawarkan oleh TI menjadi sangat penting. Lebih dari itu, pemanfaatan TI juga harus

diikuti dengan penyiapan aspek lain, seperti sumbedaya finansial dan manusia. Tanpanya,

keberlanjutan dalam pemanfaatan TI dalam mendukung proses pembelajaran dalam

rangka memajukan pendidikan nasional menjadi tidak optimal.

Terakhir, dengan atau tanpa TI, sudah seharusnya dunia pendidikan Indonesia selalu

berbenah untuk selalu menjadi lebih baik demi anak-anak bangsa. Hal ini dapat dilakukan,

di antaranya, dengan membuka akses seluasnya-luasnya untuk mengikuti pendidikan dan

meningkatkan iklim demokratis dalam proses pembelajaran dengan memberikan kendali

yang lebih besar kepada siswa.

PUSTAKA

Alavi, M., dan Gallupe, R. B. (2003). Using Information Technology in Learning: Case Studies in Business and

Management Education Programs. Academy of Management Learning and Education, 2(2), 139–153.

Al-Mashari, M., dan Zairi, M. (2000). Creating a Fit Between BPR and IT Infrastructure: A Proposes Framework

for Effective Implementation. The Internationa Journal of Flexible Manufacturing Systems, 12, 253-

274.

Davenport, T. H., dan Short, J. E. (1990). The New Industrial Engineering: Information Technology and

Business Process Redesign. Sloan Management Review (Summer), 11-27.

Govindasamy, T. (2002). Successful Implementation of e-Learning: Pedagogical Considerations. Internet and

Higher Education, 4, 287–299.

Hammer, M., dan Champy, J. (1993). Reengineering the Corporation: A Manifesto for Business Revolution.

New York: HarperBusiness.

Kirkpatrick, D. (2001). Who Owns the Curriculum? Dalam Brook, B., dan .Gilding, A. The Ethics and Equity of

e-Learning in Higher Education. Melbourne: Equity and Social Justice, Victoria University, 41-48.

Lie, A. (2004). Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi. Dalam Widiatono, T. D. Pendidikan Manusia Indonesia.

Jakarta: Kompas dan Yayasan Toyota dan Astra, 217-231.

Mohandas, R. (2003). ICT and e-Learning in Indonesia. Presentasi di Tainan, Taiwan, 25-27 Maret.

Negroponte, N. (1998). Being Digital. Terjemahan, Bandung: Mizan.

Pannen, P. (2005). Pemanfaatan ICT dalam Pembelajaran. Presentasi pada Seminar Sun Commitment in

Education and Research Industry, Jakarta, 29 Juni.

Pituch, K. A., dan Lee, Y.-k. (2004). The Influence of System Characteristics on e-Learning Use. Computers &

Education.

Resnick, M. (2002). Rethinking Learning in the Digital Age. Dalam Porter, M. E., Sachs, J. D., dan McArthur, J.

W. The Global Information Technology Report 2001-2002: Readiness for the Networked World.

Soekartawi (2003). E-Learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Presentasi pada Seminar e-

Learning perlu e-Library, Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari.


One response to “PERAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM MODERNISASI PENDIDIKAN BANGSA”

kunjungan gan.,.
bagi" motivasi.,.
Kegagalan tidak seharusnya membuat kita rapuh .,.
tapi justru itulah cambuk kita menuju kesuksesan.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,

Posting Komentar